Just another WordPress.com site

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.
Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk :
perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian,
transmisi cultural,
integrasi social,
inovasi, dan
pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja.
Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain :
Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia.
Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar.
Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral.
Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang equivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.
Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti :
 meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar,
 meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri,
 berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang,
 meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis,
 munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian,
 berbahsa tidak sopan,
 merosotnya etika kerja,
 meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara,
 timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri.
Timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah.
Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral.
Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PKn dirasakah sebagai beban, dihafalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari.
Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa. Secara optimal ,maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran seccara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah ,orang tua murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dengan demikian timbul pertanyaan,bahan kajian apa sajakah yang diperlukan untuk merancang model pembelajaran pendidikan moral dengan mengunakan pendekatan terpadu ?
Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu ,diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan, antara lain :
mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai
mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral,
mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,
mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral,
mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.
Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi mudanya.

Hati Nurani dan Moral
Ketika kita harus memilih di dalam bidang moral maka nyatalah fungsi hati nurani sangat rumit. Hukum Allah memang tidak berubah untuk selamanya. Namun disamping taat kepada hukum-hukum ini kita juga perlu mengusahakan agar hukum-hukum ini mencapai keharmonisan dalam hati kita.
Standar dari organ intern ini disebut “hati nurani”. Ada orang melukiskan suara intern yang samar-samar ini sebagai suara Allah di dalam diri manusia. Di dalam hati nurani manusia, yaitu tempat yang sangat tersembunyi terdapat keberadaan pribadi, karena ini bersifat tersembunyi sehingga kita sangat sulit mengenal fungsinya. Freud telah memasukkan psikologi ke dalam istana ilmiah sehingga manusia mulai menyelidiki alam bawah sadar, menggali lubang-lubang yang paling dalam di dalam pribadi manusia.
Sehingga manusia takut dan kagum waktu menghadapi hati nurani. Apa yang dinyatakan oleh suara intern ini mungkin seperti komentar seorang psikolog sebagai “menemukan neraka.” Namun kita harus memandang hati nurani sebagai sesuatu yang bersifat surgawi, sesuatu yang berhubungan dengan Allah dan bukanlah organ yang berasal dari neraka. Mari kita membayangkan tokoh di dalam film karton, pada waktu ia diperhadapkan untuk memilih dalam bidang moral maka ada malaikat dan setan, yang masing-masing hinggap di kiri kanan bahunya. Keduanya berusaha manarik dia seperti menarik gergaji untuk memperoleh otak manusia yang malang ini. Hati nurani dapat merupakan suara dari surga dan juga dapat berasal dari neraka. Dia mungkin berbohong, juga mungkin mendorong kita mencapai kebenaran. Dua macam hal yang dapat keluar dari satu mulut. Jika bukan melakukan tuduhan maka ia melakukan pengampunan. Slogan yang terkenal: “Biarlah hati nuranimu memimpin engkau” sangat populer.
Namun ini paling banyak hanya bisa dipandang sebagai teologi untuk anak kecil. Sedangkan terhadap orang Kristen hati nurani bukanlah pengadilan tertinggi untuk memutuskan kelakukan yang benar. Hati nurani sangat penting tetapi tidak cukup sebagai standar, dia selalu berkemungkinan untuk menjadi bengkok dan salah memimpin. Di dalam Perjanjian Baru 31 kali menyebut tentang hati nurani sepenuhnya menyatakan kemungkinan terjadi perubahan hati nurani. Hati nurani juga mungkin telah digerogoti menjadi keropos atau karena kerap kali berdosa sehingga kebal. Yeremia melukiskan orang Israel dengan istilah “bermuka pelacur.” Ini disebabkan orang Israel terus menerus berdosa sehingga kehilangan perasaan malu di dalam hatinya. Mereka menegarkan tengkuk, membekukan hati, sehingga hati nurani mereka tidak berfungsi lagi. Demikian juga orang-orang yang anti masyarakat mungkin setelah membunuh manusia tetap tidak merasa menyesal dan hilanglah fungsi teguran hati nurani yang normal.
Meskipun hati nurani bukan hakim tertinggi di dalam prinsip moral, namun melakukan sesuatu yang melanggar hati nurani tetap suatu hal yang berbahaya. Ingatlah pada waktu di dalam sidang menghadapi tekanan moral yang luar biasa besarnya dan gentar di tengah kepahitan yang optimal itu. Ada orang menganjurkan untuk menyerahkan iman, maka di antara jawabannya terdapat, “Hati nuraniku telah ditawan oleh Firman Allah.” Melakukan sesuatu yang melanggar hati nurani adalah tidak benar dan merupakan hal yang tidak aman dan berbahaya sekali. Begitu hidup Luther melukiskan dinamika emosi semacam ini pada waktu ia mempergunakan istilah “ditawan.” Hati nurani dapat bekerja secara penuh di dalam diri manusia.
Pada saat manusia dipegang oleh suara hati nurani sehingga menghasilkan kekuatan maka dengan sendirinya timbul keberanian yang luarbiasa. Hati nurani yang ditawan oleh Firman Allah adalah hati nurani yang anggun dan berdinamika. “Bertindak melanggar hati nurani adalah tidak benar dan bahaya.”
Benarkah kalimat ini? Kita harus berhati-hati menjelajahinya sehingga dapat mencegah langkah-langkah yang dapat melukai jari kaki kita yang berjalan di tepi pisau cukur kriteria moral ini. Jikalau hati nurani mungkin disalahtafsirkan atau salah arah mengapa kita harus tidak berani bertindak melanggarnya? Apakah kita harus masuk ke dalam dosa karena mengikuti hati nurani? Kita berada di tengah-tengah kedua bahaya ini sehingga bergerak, maju maupun mundur. Jikalau kita dikatakan berdosa menurut hati nurani, perlu diingat meskipun sudah bertobat hati nurani tetap memerlukan Firman Tuhan untuk memberikan pimpinan yang benar.
Namun jikalau kita bertindak melanggar hati nurani kita tetap telah melakukan dosa. Dosa ini mungkin tidak tergantung apa yang sudah kita perbuat tetapi tergantung fakta bahwa kita yang sudah mengetahui dengan jelas sesuatu yang jahat tetap terjun ke dalamnya, ini menyangkut prinsip Alkitab yang menyatakann “segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa.” Misalnya (sekali lagi misalnya) ada orang diajar dan percaya bahwa memakai lipstick adalah berdosa tetapi ia tetap memakainya maka orang ini sudah berbuat dosa. Sebenarnya dosa bukan tergantung pada lipstick itu tetapi tergantung pada usahanya untuk melanggar perintah Allah.
Penguasaan terhadap hati nurani merupakan semacam kekuatan dengan daya pemusnahan di dalam gereja. Orang legalis selalu menitikberatkan penguasaan dosa, sedangkan orang antilegalis selalu secara diam-diam menyangkal dosa. Hati nurani adalah semacam alat yang rumit yang harus kita hargai. Jikalau seseorang mau mempengaruhi hati nurani orang lain maka ia menghadapi tugas berat, ia harus memelihara kepribadian orang lain menjadi sempurna seperti pada saat diciptakan Allah. Jikalau kita mempersalahkan orang lain dengan penghakiman yang bersifat memaksa dan tidak benar maka kita mengakibatkan tetangga kita terikat kaki tangannya berarti kita memberikan rantai kepada mereka yang sudah dibebaskan Allah. Tetapi jikalau kita secara paksa mengakibatkan orang berdosa, menganggap diri tidak bersalah maka kita akan mendorong mereka lebih terjerumus ke dalam dosa. Dan akan menerima hukum Allah yang seharusnya dapat dihindarkan.

Perselisihan Moral Intelektual di Era Transisi

Salah satu karakter utama intelektual adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi (membangun kembali) atau rethinkhing (pemikiran kembali) segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai motor penggerak perubahan itu sendiri. Sementara itu, apabila masa transisi atau “masa yang baru” tiba, intelektual juga diharapkan konsisiten dengan kejujuran, keintelektualan, keyakinan, dan kekritisan tersebut.

Intelektual dan Kebenaran

Bung Hatta menyebut intelektual adalah mereka yang memiliki karakter dan teguh pendirian, lepas dari kepentingan diri, golongan, atau partai, lepas dari kedudukan, pangkat atau harta.

Oleh karena itu, mereka harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa mencari kebenaran. Mereka juga bersifat terbuka terhadap kebenaran yang lebih benar, yang datang dari pihak lain.

Namun demikian, keberpihakan intelektual terhadap kebenaran seringkali mendapat tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, masyarakat intelektual terbatas, dan dalam arti tertentu, diatur oleh hukum profesionalnya sendiri.

Konstruksi pemahaman yang terbentuk terhadap kegiatan intelektual selama ini adalah kerja yang berkaitan dengan menulis (jurnal, surat kabar, majalah, internet) memberi kuliah, dan menerbitkan buku, serta tak lupa berburu gelar dan ijazah. Kegiatan ini kemudian menjadi semacam ideologi yang dirutinkan.

Regulasi internal dan kontrol yang sedemikian ketat, serta di dalamnya mengandung ketentuan apa yang patut dan yang tidak patut, menyebabkan perubahan yang terjadi dalam dunia akademis cenderung lebih konservatif. Sebagaimana tesis yang di ungkit, tentang kehidupan universitas di Prancis yang terangkum dalam Homo Academicus, bahwa untuk sukses di dunia akademis, orang lebih harus menyesuaikan diri daripada menjadi penemu cara-cara baru. Singkatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan, justru disita untuk mengejar karir akademis belaka.

Kemudian, secara eksternal, perubahan sosial masyarakat yang dinamis senantiasa diiringi oleh silih bergantinya kekuasaan dalam lingkup kenegaraan. Akibatnya, relasi intelektual dengan kekuasaan seringkali membawa problem yang dilematis. Berbagai momen pergantian kekuasan telah memaksa intelektual untuk menganut dan memasukkan – dalam istilah Julien Benda – gairah-gairah politik ke dalam aktivitas intelektual mereka. Pembungkaman tradisi kekritisan intelektual berlangsung terus-menerus sejalan dengan ritme pergantian kekuasaan. Kondisi ini melahirkan dikotomi antara intelektual murni, yaitu yang terus menerus melakukan hal yang sama, dan intelektual plus-organik yang berhubungan langsung dengan penguasa-penguasa, dan kelas tertentu, yang memanfaatkan mereka untuk memperbesar kontrol dan kekuasaan.

Tak heran, panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral akhir-akhir ini terus menemukan relevansinya, terutama di Indonesia. Otonomi moral yang dimaksudkan adalah sikap dan perilaku yang dipimpin oleh hati nurani. Bukan kepentingan penguasa, kelompok atau organisasi, apalagi kepentingan etnis tertentu. Karena otonomi moral inilah, intelektual senantiasa ditarik atau menarik diri dalam dunia birokrasi ataupun pengelolaan pembangunan negara selama ini. Misalnya dengan menjadi menteri ataupun staf ahli pemerintahan. Pertanyaannya adalah, ketika modal, kekuasaan, dan negara menjadi bagian dari kompetisi intelektual, mungkinkah para intelektual tersebut mempertahankan otonomi moral dan komitmennya terhadap kebenaran ilmu pengetahuan? Atau akankah intelektual hanya sekedar sebagai alat?.

Intelektual dan kekuasaan

Ruang yang telah diubah kaum intelektual menjadi kekuasaan, memungkinkan dan merangsang pertarungan dengan kekuatan lain yang menghasilkan political discourse untuk terus menerus direproduksi, dipertarungkan, dihancurkan, dan kemudian dibentuk diskursus baru lagi secara sosial dan politik. Dengan demikian, di saat bangsa kita berada dalam jeratan neo-liberalisme yang berhasil menghancurkan semua bentuk struktur kolektif dengan logika pasarnya, kita terus menerus menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan terjadi di dalam masyarakat. Di sisi lain, otonomi moral intelektual sebagai hati nurani bangsa, terus bergulat mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan melawan kekuasaan dan modal.

Tabir yang menyelimuti selingkuh antara pengetahuan dan kekuasaan terkuak saat kita membaca, khususnya tema “kebenaran” sebagai konsep yang selalu diidentikkan dengan tujuan mulia intelektual dalam menghasilkan pengetahuan. Fokus tentang kebenaran di sini bukan soal pertanyaan apa itu kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran menjadi sebuah politik (politics of truth). Ini hal lumrah jika kekuasaan dipahami tidak dalam makna represif, tetapi sebagai jaringan produktif yang mengalir di sela-sela relasi sosial. Melalui jaringan ini kelompok intelektual memainkan kekuasaan dengan dinamis, lewat pengetahuan yang dihasilkannya dalam berbagai wujud. Pada titik ini kita sampai pada kesimpulan, intelektual adalah ruang produksi pengetahuan yang sarat kepentingan dan bias-bias sosial, politik, dan budaya. Intelektual bukanlah seorang malaikat yang selalu berpijak pada “kebenaran”, karena “kebenaran” sendiri adalah konstruksi politik. Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan. Dengan cara pandang ini, intelektual sebenarnya tidak pernah berkhianat. Sebab dia senantiasa berada dalam wilayah wacana kekuasaan yang tidak mengenal konsep pengkhianatan.

Implikasi dari pemahaman tersebut, tema pemihakan intelektual kepada rakyat menjadi kurang atau tidak relevan. Pertama, karena tuntutan pemihakan ini memberi stigma inferior pada rakyat dan menafikan kemungkinan potensi intelektual dan kecendekiawanan yang ada pada rakyat. Kedua, yang lebih penting, justru tema-tema “pemihakan” harus dicermati karena dapat dengan mudah dimanipulasi untuk melegitimasi kekuasaan.

Fenomena terlibatnya kaum intelektual di pusaran kekuasaan juga tidak perlu digusarkan. Sebab, masyarakat telah sedemikian kompleks, konsekuensinya lahan garap intelektual juga semakin luas. Kompleksitas masyarakat melahirkan pandangan yang mendukung beragam gerakan sosial (sipil, politik, lingkungan, ekonomi, budaya, jender). Pilihan Intelektual untuk bekerja di sektor Non Goverment Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah konsekuensi dari arus demokratisasi yang menuntut kesadaran dan keterbukaan berbagai lapisan kelas sosial masyarakat.

Kehadiran intelektual di sana diharapkan mampu membangun kesadaran transformatif dari kelompok masyarakat, untuk bergabung dengan gerakan civil society mewujudkan kemandirian dan menghapus berbagai macam ketidakadilan.
Moralitas Intelektual : Sebuah Gerakan

Namun demikian, hambatan utama justru datang dari institusi pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak intelektual-intelektual hati nurani bangsa. PT ternyata hanya mampu menjadi pengabdi kapitalisme. Sama seperti ketika mengharap otonomi moral intelektual yang berada di kekuasaan, rasanya sulit pula mengharap lahirnya intelektual dengan kesadaran transformatif dari pendidikan tinggi yang demikian kapitalistik. Jalan tengah yang bisa diambil dalam mendamaikan intelektual dari pergulatan kekuasaan, modal, dan otonomi moral adalah dengan konsep free-floating intelligentsia, dari Karl Manheim. Dan menyatakan bahwa intelektual seharusnya adalah mereka yang berada pada lapisan sosial yang relatif bebas dari kepentingan kelas ekonomi tertentu dan mampu bertindak sebagai kekuatan politik kreatif dalam masyarakat modern. Intelektual memiliki tugas sejarah, memberi cermin kepada publik agar dapat merefleksi diri, sehingga dapat memilih jalan dan cara yang tepat bagi tindakannya. Netral namun tidak terasing. Independen, namun bukan berarti tidak menjalin hubungan dengan institusi sosial yang lain, termasuk negara dan modal asing.

Kaum intelektual, seharusnya merumuskan sesuatu untuk menjadi feasible dan lebih workable serta lebih bermakna dan berdampak pada relasinya dengan kekuasaan, modal, kebudayaan dan juga pada sosoknya yang lain yakni sosok masyarakat. Bangkitnya lagi suatu keharusan membangun dan mengembangkan masyarakat madani, membuka peluang yang lebih cocok bagi kaum intelektual untuk mendekatkan pemikiran dan analisisnya ke masyarakat. Untuk menjaga moralitas ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh intelektual, diperlukan gerakan menempatkan moral diatas ilmu.

Gerakan ini setidaknya harus dijalankan secara sistemik dan kultural oleh pendidikan tinggi. Sekurang-kurangnya PT harus memfokuskan perhatian pada empat hal. Pertama mengupayakan para intelektual tetap berdiri dan bertindak sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan inovasi pemberdayaan masyarakat. kedua penjaga integritas setiap ilmuwan dan cendekiawan agar tetap bertindak sebagai pelopor pengembangan ilmu pencerahan.

Ketiga mengingatkan kembali pentingnya moral dan memperluas koridornya dalam gerak langkah pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. keempat gerakan ini akan memberikan perhatian khusus pada cakupan pembicaraan moral, bukan hanya bersifat horizontal antara ilmuwan/cendekiawan dengan manusia lain atau masyarakat lainnya, tetapi juga bersifat vertikal, kepada Tuhan dan Agamanya. Dari analisa diatas terlihat bahwa penegakan moral merupakan kebutuhan yang sangat urgen dalam rangka mengawal transisi bangsa, hingga tetap dalam jati dirinya sebagai bangsa yang religius dan berbudaya, maka negara sebagai pemegang kekuasaan penuh, juga harus menegakkan supremasi hukum bagi setiap pelanggaran moral, termasuk budaya korupsi di segala sendi kehidupan kebangsaan yang menjadi musuh bangsa bersama.
Dengan begitu, menciptakan komunitas intelektual yang santun, radikal dan kritis adalah hal yang sangat penting. Sehingga, gerakan masyarakat sipil menjadi lebih berhati nurani dan bermakna bagi seluruh bangsa.
HUKUM ALAM
Sering sekali manusia salah dalam mengambil sikap atau penilaian tentang sesuatu yang terjadi pada Alam. Entah secara disengaja atau memang ketidak tahuan manusia akan sifat Alam itu sendiri. Berita dan khabar yang selalu terdengar adalah tentang Bencana dan kerusakan Alam yang kesemua itu tidak pernah tuntas untuk dimengerti oleh manusia yang tinggal di bumi yang Fana ini. Mengapa harus ada kata Bencana ketika Alam memperbaharui dirinya? padahal Alam itu juga makhluk yang memiliki keterbatasan untuk menampung dan menerima apapun, maka sudah sewajarnya bila dia harus memperbaiki dan merevolusi diri demi kesinambungan hidupnya dan seluruh makhlukyang tinggal dan menetap di bumi ini. Maka kalau kita sudah berani mengatakan semua yang dia lakukan itu merupakan bencana, maka kita harus siap pula untuk mengintrospeksi diri kita, mengapa saya katakan demikian” sebab bila Alam ini murka maka tidak ada lain alasan melainkan adanya kesalahan pada manusia, maka itulah dia bertindak untuk,agar manusia ini bisa berubah dan sadar dari kebodohan dan kesalahanyang telah kita perbuat. Bila saja kesalahan itu terus terjadi sudah pasti Alam juga akan terus bertindak, adil bukan? sudah merupakan konsekwensi kita dan Alam ini untuk selalu selaras dan sejalan dengan Sunnah yang sudah ditetapkan oleh Sang Penata dan Pencipta Alam Jagat Raya (الخالق / Al Kholiq) Bila manusia selalu bertindak dan berbuat yang bisa mencemarkan Alam ini maka sudah pasti akan ada ekses ketidak stabilan padanya. Banyak sekali celah atau alasan mengapa Alam ini marah/murka.
Kalau kita perhatikan di seluruh dunia ini hampir semuanya mengexploitir sumber daya Alam, dengan alasan Sains Teknologi. Anehnya lagi mengapa Sains Teknologi yang dijadikan acuan dalam berbuat demikian? Apakah dengan Sains Teknologi kita hidup? atau apakah Sain Teknologi yang mengendalikan diri kita? Jelas tidak. Tidak ada kesalahan pada Sains Teknologi bila saja masih selaras dengan Alam semesta.
Namun bila sudah bertentangan dengannya maka sudah pasti sebuah kesalahan besar bagi manusia danakan mengakibatkan terjadinya goncangan/gejolak, mungkin ini yang selalu dikatakan oleh manusia dengan Bencana. Siapa bilang setiap perbuatan kita tidak akan berekses pada Alam ini? jelas sangat berkaitan erat. Dan siapa bilang bahwa penataan manusia (Negara,Bangsa) juga tidak bisa mengakibatkan ekses pada Alam.
Penataan moral Bangsa yang salah dan kedudukan manusia yang tamak akan kekuasaan juga menjadi perhatian Alam semesta. Bahkan kehadiran sosok seorang pemimpin yang akan menggerakkan roda pemerintahan juga menjadi cerminan bagi Alam ini. Saya yakin dunia semua tahu kalaulah didalam sejarah bila sosok Pemimpin itu jelek, dan selalu berbuat tanpa pedomanyang jelas, (Namrud, Fir’aun dan Abu Lahab dan masih banyak lagi) inilah sosok-sosok Pemimpin yang bisa mengakibatkan kerusakan pada Alam dan manusia. Pesanku” Jujurlah pada dirimu bila itu memang salah, dan segeralah bertobat, lakukan perbaikan minimal pada diri kita sebelum melakukan perbaikan pada apa dan siapapun. Cobalah untuk tetap selalu bijak dalam mengambil hikmah dari setiap perbuatan. karena hanya dengan kebijakan dan ketakwaan kita bisa selalu sejalan dengan Alam dan mengantisipasi diri kita untuk tidak terjerumus pada ke Zhalimanyang akan mengantarkan diri kita sampai ke lembah Nista (Neraka).

Pesan Moral Musang vs Kura-kura
Di suatu masa di suatu dimensi, kura-kura berdebat dengan musang mengenai
siapa yang lebih cepat.
Akhirnya mereka memutuskan untuk adu lari dan sepakat jalurnya. Musang melesat meninggalkan kura-kura. Setelah tahu kura-kura tertinggal jauh di
belakang, musang memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum berlanjut lagi,
“Ah, saya istirahat dahulu, nanti kalau si kura-kura dah dekat baru saya lari
lagi.”. Musang duduk di bawah pohon (tidak di atas pohon karena musang gak
bisa manjat) dan akhirnya tertidur pulas.
Kura-kura akhirnya melalui musang yang sedang tertidur dan memenangkan adu
lari. Akhirnya musang pun terbangun dan menyadari dirinya telah kalah.
Moral : pelan-pelan asal selamat yg akan berjaya.
Karena malu dan kecewa yang mendalam, musang melakukan Antisipasi Kegagalan
(Root Cause Analysis). Ia yakin bahwa kekalahannya hanya karena ia terlalu
percaya diri, ceroboh dan lalai. “Kalau kemarin saya tidak macam-macam, tidak mungkin saya
kalah” pikir musang. Ditantangnya lagi si kura-kura, “Hei kura-kura, kesini
kamu. Saya tidak terima kamu menang kemarin, ayo kita lomba lagi, sekali ini
pasti gue yang menang”. ”Si kura-kura santai saja menjawab, “ayooo, siapa takut?”
Akhirnya dimulai lomba, dan dari awal lomba musang melesat meninggalkan
kura-kura dan terus berlari hingga ke garis finish. Benar juga, musang
yang menang, Sumpeh dehhhh.
Moral : Yang cepat dan konsisten selalu mengalahkan yang pelan-pelan asal selamat.
Kura-kura panas, dan setelah dipikir-pikir baru nyadar kalau dia tidak mungkin
bisa mengalahkan musang dengan kondisi seperti itu. Ditantangnyalah musang
adu lari lagi ke suatu tempat. “Hei musang, ayo kita lomba lagi. Sekarang
kita lewat jalan ini ke sana. Berani tidak kamu?”
Ditantang seperti itu, musang langsung mau aja karena sudah yakin dia yang
mungkin menang, kemarin aja dia bisa menang. Lomba dimulai dan dengan
kencangnya musang berlari meninggalkan kura-kura. “Yang penting saya jangan berhenti-henti, pasti saya menang.” pikir musang.
Dan akhirnya, ternyata jalan di depan musang terhalang sungai. “Aduh, bagaimana cara
saya menyebrangi sungai ini? Saya tidak bisa berenang” termenung si musang
mencari jalan menyebrangi sungai.
Lama termenung, akhirnya musang melihat kura-kura datang dan menyeburkan diri untuk
berenang di sungai, dan keluar lagi, sambil berjalan pelan menuju garis finish.
Terpaku musang melihat kemenangan si kura-kura.
Moral : Ketahuilah jikalau punya kemampuan janganlah terlalu sombong,
karena kadang keadaan sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuan kita.
Melihat si musang terpaku sedih, kura-kura pun menghampirinya dan
berkata, “Sudah, jangan sedih, besok kita mencoba kembali untuk mengadu kecepatan kita
bersama-sama.”
Keesokan harinya, lomba dimulai lagi, tapi sekarang musang menggendong kura-kura sampai tepi sungai. Kemudian bergantian kura-kura menggendong musang menyebrangi
sungai dilanjutkan kembali musang menggendong kura-kura sampai garis finish.
Hasilnya mereka berdua lebih cepat sampai di garis finish.
Moral : pinter dan kemampuannya tidak bisa dalam bekerjasama. Mungkin percuma,
karena dengan kerjasama maka kekurangan akan dipenuhi oleh yang lainnya.
Hikmah :
1. Yang cepat dan konsisten selalu mengalahkan yang pelan-pelan asal selamat.
2. Bekerjalah sesuai kemampuanmu .
3. Kumpulkan sumber daya dan kerjasama sebagai tim selalu mengalahkan kelebihan pribadi
4. Jangan menyerah bila gagal
5. Berlombalah dengan situasi, jangan dengan saingan .
6. Perbedaan bukanlah suatu kendala untuk bekerja sama. Meskipun ada perbedaan, namun kita tetap bisa saling bekerjasama; dan justru terkadang dengan adanya perbedaan itulah, muncul suatu kebaikan / keuntungan bersama.

Tinggalkan komentar